KONDISI alam semakin gersang, gumpalan es di kutub pun banyak yang mencair. Hal itu sedikit banyak merupakan akibat ulah manusia. Sifat serakah manusia semakin menjadi dengan menghalalkan segala cara, walau merusak alam.
Pola pendidikan ekonomi yang mengajarkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang seminim-minimnya, bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Di tangan orang tak bertanggung jawab, pola pemikiran yang demikian tentunya akan disalahgunakan. Misalnya, dengan melakukan produksi dari bahan produksi murah namun merusak alam untuk menghasilkan barang-barang bernilai ekonomi tinggi dan tak ramah lingkungan pula.
Selain itu, pola berfikir instan yang menjangkiti sebagian besar individu, terlebih mahasiswi, pun turut menyumbangkan kerusakan alam. Contoh kecil saja, banyak orang yang menggunakan tisu sebagai pengusap keringat. Menggunakan banyak tisu, berarti banyak memotong pohon. Padahal sejatinya penggunaan tersebut dapat dihindari dengan menggunakan sapu tangan. Hal itu pun tentu lebih hemat karena tidak sekali pakai, dan ramah lingkungan.
Penggunaan barang-barang yang merusak lingkungan, pantasnya tak dilakukan oleh mahasiswa, kaum intelektual. Mahasiswa seharusnya lebih aktif untuk menjaga alam. Hal itu pun sebagai contoh bagi generasi-generasi di bawahnya untuk turut serta menjaga alam.
Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah pun telah berulang kali menyuarakan untuk menjaga alam dengan tidak membuang sampah sembarangan. Namun hal tersebut tampak kurang efektif. Layaknya pengajaran menjaga alam dilakukan diusia sedini mungkin. Salah satunya dengan melakukan pola pendidikan dengan berbasis harmoni alam.
Pola pendidikan yang diberikan yakni, pertama, memasukkan nilai-nilai mencintai alam pada semua bidang pelajaran, tak hanya mata pelajaran Ilmu Pendidikan Alam (IPA). Kedua, belajar dengan media yang langsung menyatu dengan alam. Salah satu contohnya, saat pelajaran praktik berwirausaha di bidang makanan, peserta didik diarahkan menggunakan daun sebagai pembungkus barang dagangannya dibanding menggunakan styrofoam. Selain baik digunakan untuk makanan, daun pun merupakan bahan yang ramah lingkungan. Ketiga, mengajak peserta didik untuk menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Misalnya, menggunakan tas kain, tak sekali pakai, dari pada menggunakan plastik.
Banyak jalan untuk menjaga keindahan alam. Salah satunya dengan menanam pohon di pekarangan, meskipun satu pohon. Selain itu, membuang sampah pada tempatnya pun bukti bahwa kita cinta bumi. Berawal dari hal kecil dari diri sendiri akan membuahkan manfaat yang besar bagi bumi. Putra-putri Indonesia bisa!
Karmila Sari
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Muria Kudus
aktif di Kelompok Pecinta Tulis (KPT) Kudus Jateng.
Pola pendidikan ekonomi yang mengajarkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang seminim-minimnya, bukan tidak mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Di tangan orang tak bertanggung jawab, pola pemikiran yang demikian tentunya akan disalahgunakan. Misalnya, dengan melakukan produksi dari bahan produksi murah namun merusak alam untuk menghasilkan barang-barang bernilai ekonomi tinggi dan tak ramah lingkungan pula.
Selain itu, pola berfikir instan yang menjangkiti sebagian besar individu, terlebih mahasiswi, pun turut menyumbangkan kerusakan alam. Contoh kecil saja, banyak orang yang menggunakan tisu sebagai pengusap keringat. Menggunakan banyak tisu, berarti banyak memotong pohon. Padahal sejatinya penggunaan tersebut dapat dihindari dengan menggunakan sapu tangan. Hal itu pun tentu lebih hemat karena tidak sekali pakai, dan ramah lingkungan.
Penggunaan barang-barang yang merusak lingkungan, pantasnya tak dilakukan oleh mahasiswa, kaum intelektual. Mahasiswa seharusnya lebih aktif untuk menjaga alam. Hal itu pun sebagai contoh bagi generasi-generasi di bawahnya untuk turut serta menjaga alam.
Membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah pun telah berulang kali menyuarakan untuk menjaga alam dengan tidak membuang sampah sembarangan. Namun hal tersebut tampak kurang efektif. Layaknya pengajaran menjaga alam dilakukan diusia sedini mungkin. Salah satunya dengan melakukan pola pendidikan dengan berbasis harmoni alam.
Pola pendidikan yang diberikan yakni, pertama, memasukkan nilai-nilai mencintai alam pada semua bidang pelajaran, tak hanya mata pelajaran Ilmu Pendidikan Alam (IPA). Kedua, belajar dengan media yang langsung menyatu dengan alam. Salah satu contohnya, saat pelajaran praktik berwirausaha di bidang makanan, peserta didik diarahkan menggunakan daun sebagai pembungkus barang dagangannya dibanding menggunakan styrofoam. Selain baik digunakan untuk makanan, daun pun merupakan bahan yang ramah lingkungan. Ketiga, mengajak peserta didik untuk menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan. Misalnya, menggunakan tas kain, tak sekali pakai, dari pada menggunakan plastik.
Banyak jalan untuk menjaga keindahan alam. Salah satunya dengan menanam pohon di pekarangan, meskipun satu pohon. Selain itu, membuang sampah pada tempatnya pun bukti bahwa kita cinta bumi. Berawal dari hal kecil dari diri sendiri akan membuahkan manfaat yang besar bagi bumi. Putra-putri Indonesia bisa!
Karmila Sari
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Muria Kudus
aktif di Kelompok Pecinta Tulis (KPT) Kudus Jateng.
0 komentar:
Posting Komentar